KOLOMMS TAJUDDIN

Burung Itu Lepas dan Melluttus

PADA mulanya, saya menduga media sosial hanya akan melayani para pansos yang berjiwa narsis dan berorientasi eksis di kehidupan. Mereka yang acap melupa, bahwa naluri manusianya atau nilai keadabannya pelan melorot ke bawah.

Bersamaan dengan itu, nilai kebinatangan-pun pelan merangkak naik melalui media sosial dunia maya berbasis digital.

Sampai disini, media sosial dipandang telah menjadi perangkat nyata pembunuh nilai-nilai kemanusiaan dan keadaban itu.

Sebagaimana jamaknya para pakar memberikan tafsir dan penilaian pada kemajuan dan komederenan, yang dalam kepala mereka, dinilai telah begitu jauh salah kaprah dan sala kawila bahkan sala pa’dutang.

Mulai dari media sosial dengan perangkat digitalnya yang memekikkan umpatan hingga teriakan kebohongan yang begitu pasih dikemas dalam keindahan yang kreatif.

Termasuk perang aurat yang begitu massif dan kian sulit dibendung setelah begitu banyak menguasai dan terasa begitu paham keinginan dan selera viuwer.

Selera viuwer atau pasar yang rela menghabiskan kuota dan membeli koin sekedar untuk mengintip dengan kegirangan sekaligus keliaran imajinatif. Untuk yang satu ini begitu update dan begitu dinamis.

Filem-filem yang dikelola dengan tata pencahayaan dan suara serta disiplin sinematography yang presisi dan berbasiskan industri terbaru-pun bermunculan.

Hingga mereka yang dengan tanpa dosa merekam baik lelaku kabinatangannya dengan hanya bermodalkan alat rekam gambar dan audio sederhana dan amatiran.

Tak pelak, tubuh menjadi modal yang siap untuk dikapitalisasi untuk kepentingan uang yang tidak saja menjanjikan, tetapi sekaligus membahagiakan. Dunia digital telah begitu jauh mamanjakan manusia.

Surga dan neraka seakan hanya menjadi pseudo yang tak punya nilai tawar lagi. Eskapisme dunia maya telah merangkul mesra kita dalam pelukannnya yang begitu adem, indah dan menjanjikan.

Kita begitu jinak seperti hewan piaraan yang dicucuk hidung, ditarik masuk ke dalam pusaran perangkapnya yang lezat dan menggairahkan sekaligus menggiurkan.

Tetapi, itu hanya satu perspektif, karena dalam perspektif lain, dunia maya yang berbasis digital itupun ternyata, belakang menawarkan begitu banyak kebaikan yang membludak. Rasanya, karena itulah catatan yang tak penting ini muncul dan pelan bergerak.

Artinya dugaan atau hipotesis awal sebagaimana mula tulisan ini, tidak lantas boleh dicerna mentah dan atau ditelan bulat-bulat begitu saja. Karena fakta lain, juga menunjukkan betapa dunia maya yang berbasis digital pun menawarkan sesuatu yang amat sangat bernilai, bagi upaya kita membangun keadaban dan nilai-nilai kemanusiaan kita.

Katakanlah, ceramah dan narasi yang banyak mengajari kita tentang kebaikan dan kebenaran serta ketulus ikhlasan.

Juga kian banyaknya layanan kajian, pengajian, khutbah dan berbagai disiplin pengetahuan dan keilmuan yang sungguh memiliki kemungkinan, bagi kita untuk kian memperkaya upaya kita menuju manusia yang sungguh-sungguh manusia.

Semua disiplin ilmu ada di dalam dunia maya yang berbasis digital itu. Persoalannya yang tersisa saat ini adalah, kecenderungan kita hendak diarahkan kemana. Karena semua disiplin telah terhidang baik. Begitu beragam dan begitu melimpah-limpah.

Sampai suatu ketika, penulis terjebak pada sebuah pertanyaan yang saya ajukan kepada sahabat saya, atau tepatnya guru saya, adakah ilmu-ilmu yang tercomot begitu saja di internet, tanpa talaqqi dan ijazah langsung dari sang guru itu sah untuk diamalkan sebagai ilmu?

Karena lazimnya, pengetahuan bahkan ilmu-ilmu khusus yang kini begitu banyak bertebaran di internet itu, semula adalah ilmu yang harus diminta dan diijazahkan langsung oleh sang guru. Karena hal itu, sangat terkait dengan keberkahan ilmu dan kesungguhan serta adab seorang pembelajar. Sampai disini, pertanyaan-pertanyaan serupa itu membentur-bentur layar display smartphoneku.

Belum lagi kelebihan lainnya adalah, tentang begitu banyaknya informasi yang mengalir seperti air yang membanjiri gawai dan kumputer jinjing milik kita.

Mulai dari informasi yang berbasis berita yang dikelola oleh industri media massa profesional. Hingga berita dan informasi yang dijejalkan kedalam otak kita, dari para wartawan amatiran dan tak tercatat di lembaga pers yang kafabel.

Termasuk berita duka yang belakangan tidak kunjung sepi dan pemberitaan dari wartawan serius atau yang sekedar menjadi penyampai informasi. Berita duka itu, terus saja masuk ke dalam berbagai platform media sosial kita hari ini.

Ini menjadi baik, karena nyaris setiap kita membuka gawai, maka yang segera akan kita lakukan adalah kembali mengirimkan bacaan suratul fatihah atas berita duka yang terbaca itu. Terlepas dari apakah itu duka karena pandemi ataukan karena ihwal lainnya.

Tetapi sebagai penganut agama yang baik, setiap mendengar, mengetahui adanya duka bagi saudara kita yang lain, maka segera doa dan ucapan kesaksian atas kebaikan atas orang atau saudara kita yang telah meninggal itu menjadi sesuatu yang mesti didahulukan. Tak urus apakah agama, adat dan budayanya, apatalagi penyebabnya duka itu, pandemi ataukah bukan.

Demikianlah nilai lebih dari dunia maya yang berbasis digital itu. Soalnya kini adalah, kita hendak masuk di kanal-kanal yang mana. Karena semuanya telah tersedia? Termasuk soal yang baru saja penulis alami tadi pagi, burung yang telah begitu lama tinggal dan hidup di dalam keluarga kami, tiba-tiba lepas dan pergi melalui celah-celah sangkarnya. Seperti dulu kami juga pernah kehilangan kucing yang sedang lucu-lucunya.

Kembali ke soal burung yang lepas dan terbang, duka tentu saja menyelimuti keluarga kami, tetapi adakah ini akan kami tulis beritakan atau tidak. Pilihan terakhirnya, biarlah kami ikhlaskan burung itu lepas terbang, sebagaimana dulu kami telah khatam belajar kehilang kucing periang yang begitu menggemaskan.

Tetapi sebagai bahagian dari keluarga, selayaknyalah kami menuliskannya. Setidaknya menjadi catatan yang kelak akan menjadi gamitan keluarga kami, bahwa dulu kami pernah punya empat jenis burung, dua jenis love bird dan dua lainnya adalah rio-rio dan salah satu dari jenis rio-rio itu lepas atawa lassu dan melluttus alias terbang.

Duka kehilangan itu, tercatat terjadi pada Sabtu pagi, 24 Juli 2021. Saksi yang sedang berwudhu menyebutkan, jelang subuh dia masih tampak riang bermain di dalam sangkarnya. Namun saat pagi dan matahari mulai tampak, ia telah meraib. Saat catatan ini diturunkan, duka itu masih menyelimuti kami, dan rio-rio itu, tidak lagi tampak batang paruhnya.

MS TAJUDDIN

belajar membaca dan menulis juga pembelajar di kehidupan

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
%d blogger menyukai ini: