GAGASANOPINI

Shaum, Mujica dan Konsumsi

IBADAH shaum atau populer disebut puasa, secara sederhana dapat diartikan; suatu amalan atau perbuatan “menahan diri” dari segala hal yang dapat membatalkan eksistensinya sebagai ibadah, dan di saat bersamaan sebagai amalan “mendorong diri” memperbanyak melakukan kebaikan (‘amalun shalihan) untuk mencapai kesempurnaan ibadah. Kedua hal tersebut (menahan dan mendorong) tak dapat dipisahkan, sehingga shaum sesungguhnya hendak menegaskan suatu keseimbangan dalam pengelolaan dan pengendalian system “keakuan” yang meliputi; keinginan, kehendak, emosi, hasrat, antusiasme, kebutuhan, kepentingan dan sejenisnya.

Di dalam “aku” terdapat apa yang disebut dengan hawa’. Kata ini diserap dari bahasa Arab; hawaay, yahwiy, hawiyyun, yang berarti “jatuh”. Bisa jatuh dari tempat yang tinggi atau jatuh ke tempat yang dalam. Hawa’ adalah sebuah kualita yang memberi pengaruh kuat terhadap aktivitas aku; aku ingin, aku butuh, aku hendak, aku berhasrat untuk, aku marah, aku rindu, aku cinta, aku suka, aku bahagia, aku senang, aku puas, dan sejenisnya. Hawa’ bersemayam dan bekerja mengobrak-abrik “aku” dengan baik, menjungkir-balikkan “aku” dengan permainan konsumsi. Disinilah “aku” akan kehilangan kendali dan dapat saja jatuh.

Jean P. Baudrillard seorang filosof Prancis mengatakan kita tidak lagi mengontrol objek-objek konsumsi melainkan sebaliknya dikontrol, hidup sesuai iramanya, sesuai siklus perputarannya yang diproduksi tak terputus. Yang dicari dalam konsumsi bukan lagi makna-makna, pesan-pesan dan informasi, tetapi nilai kegairahan dan ekstasi.

Shaum sejatinya adalah proses latihan selama sebulan yang bertujuan membangun kembali kemampuan kontrol “aku” yang telah jatuh sempoyongan atas pukulan telak hawa’ yang berelasi kuat dengan objek-objek konsumsi. Dengan training sebulan ramadhan, diharapkan “aku” dalam sebelas bulan ke depan, dapat bangkit kembali memegang kendali kontrol atas hawa’. Itulah masa “the big war” yang sesungguhnya, perang melawan hawa’ nafsu. Kekuasaan terhadap kendali kontrol adalah makna penting dari pengharapan tuhan, la’allakum tattaquun; semoga kalian semua beroleh ketaqwaan. Bahwa dengan puasa sebulan, manusia kelak mampu mengingat dan taat kepada tuhan kapan dan di mana pun berada.

Celakanya, masyarakat muslim Indonesia lebih senang menikmati ramadhan sebagai event “big discount”. Sehingga shaum tak lebih dari sekedar pembagian voucher murah untuk memperoleh banyak pengampunan dan pahala; beli satu dapat sepuluh. Mereka yang berhasil memiliki banyak voucher, akan dapat dengan mudah memperoleh tiket vip surga. Sambil berlomba merebut voucher, bulan ramadhan justru menjadi kurun waktu pembengkakan hawa’ konsumtif yang puncaknya diselebrasikan saat lebaran. Kegiatan menahan makan, minum dan seks hanya kamuflase. Global Consulting Group Indonesia pernah mengeluarkan catatan bahwa bisnis kuliner justru begitu menggiurkan saat bulan ramadhan, diantaranya; kue kering, aneka jenis minuan segar, aneka jenis makanan, transportasi, jasa kebersihan dan keamanan, fashion, konten digital, dan buku agama.

Selepas ramadhan yang berlangsung formalistis, kehidupan berjalan layaknya burung lepas dari sangkar. Good bye ramadhan. Segala bentuk kezaliman, kemaksiatan, kekufuran dan lain-lain mulai berlangsung seperti biasa bahkan lebih. Jika saja shaum dijalankan sebagai kebijakan negara atas dasar undang-undang, maka dalam 25 tahun shaum seharusnya sudah dihentikan karena tidak lagi memiliki pengaruh efektif atas pola laku kaum muslim.

Terkait dengan itu semua, menarik rasanya untuk menengok sosok Jose Alberto Mujica Cordano yang akrab dipanggil Pepe. Sebagai seorang muslim, saya secara pribadi, kagum terhadap Pepe yang tidak pernah mengenal apalagi melaksanakan ibadah shaum. Tetapi pola hidupnya menampakkan pola hidup yang seharusnya dimiliki oleh seorang muslim yang telah bertahun-tahun melaksanakan ibadah shaum.

Mujica memilih jalan hidup sangat sederhana bersama istrinya jauh di luar kota Montevideo Uruguay, dengan rumah yang cukup reyot di tanah pertanian dan jalan tanpa lapisan aspal. Ada banyak orang memilih hidup sederhana, tetapi kesederhanaan Mujica menjadi luar biasa karena dia adalah seorang presiden yang dilantik tahun 2010 dan berakhir pada Maret 2015. Mujica mendapat julukan presiden termiskin di dunia. Gajinya setiap bulan sebesar USD 12.000 atau menghampiri Rp. 120 juta, 90% disumbangkan untuk kegiatan amal. Sehingga dengan mendonasikan gajinya untuk rakyat miskin dan pengusaha kecil, setiap bulan ia hanya menerima kurang dari Rp. 800.000.

Bagaimana dengan diri kita dan pemimpin kita yang sepanjang usia baliq telah berulang-ulang melaksanakan ibadah shaum? Sudah sekuat apakah kita dapat mengendalikan hawa’ konsumtif kita? Ibadah shaum sejatinya diorientasikan pada aspek penguatan integritas dan aspek sosial selama sebelas bulan setelah ramadhan, untuk kemaslahatan semua orang. Soal pahala sebulan ramadhan, serahkanlah pada tuhan yang hitungannya tak pernah lalai sedikit pun. Dengan ramadhan, seharusnya kita bertanggung jawab atas moral aneh bangsa saat ini.

Banga Pinrang, 21 Juni 2015.

HAMDAN eSA

Dosen Universitas Al Asyariah Mandar, lahir di Kendari, pernah nyantri dan belum punya cita-cita.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
%d blogger menyukai ini: